Kamis, 07 Februari 2013

Partai Jargon Islam

Kasus demi kasus terus terungkap. Banyak partai kocar-kacir menyelamatkan diri, ada yang menanggapi dengan sinis dan ada pula yang menanggapi dengan serius. Hampir seluruh pengamat politik laku keras pada 'tahun politik' ini. Bahkan sebagian pengamat sudah muak mengomentari kasus-kasus tersebut. Yunarto Wijaya, salah satu pengamat politik yang hampir selalu menghiasi layar kaca televisi ini mengatakan, partai politik masih kekanak-kanakan dalam menghadapi berbagai terpaan. Namun, akankah partai Islam tumbang di bumi berpenduduk mayoritas muslim ini?.

Setiap partai memiliki ideologi masing-masing. Sehingga massa pendukung setiap partai pun akan berbeda-beda. Partai berideologi sekuler, misalnya, akan diikuti oleh massa sekuler. Begitu juga dengan partai yang berideologi religiusitas akan diikuti oleh massa religius, dan partai berideologi nasionalis akan diikuti oleh massa nasionalis. Artinya, setiap partai memiliki massa tersendiri dalam kuota tertentu. Namun, menjadi pertanyaan terbesar, kenapa partai Islam di Indonesia, sebut saja PKS, PPP, PKB dan lainnya tidak menjadi pemenang pemilu? Padahal Indonesia mayoritas berpenduduk muslim.

Beberapa waktu lalu Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam pernah merilis daftar partai politik terkorup. Urutan pertama ditempati Partai Golkar (36,36 persen), disusul PDIP (18,18 persen), Partai Demokrat (11,36 persen), PPP (9,65 persen), PKB (5,11 persen), PAN (3,97 persen), dan PKS (2,27 persen). Bila melihat rilis ini, partai berjargon Islam masih berada di bawah partai nasionalis dalam prosentase indeks korupsi.

Namun demikian, indeks ini akan menyakitkan hati umat Islam. Karena umat Islam malu melihat partai berjargon Islam tetapi korup. Akibatnya, partai Islam tidak pernah menjadi pemenang pemilu setelah reformasi. Oleh karena itu, melihat realitas sekarang, sudah saatnya semua partai melepas jargon keagamaan yang selalu mereka dengung-dengungkan. Untuk menghindari kerugian umat Islam secara luas, karena ulah sebagian anggota partai politik religius.

Lepas jargon agama
Agama adalah sebuah sistem sakral dalam sebuah kepercayaan. Agama selalu berada di atas segala-galanya, yakni di atas kepentingan pribadi, kelompok atau partai, bahkan di atas kepentingan negara sekalipun. Artinya, agama selalu berada pada posisi-posisi sakral atau suci dalam segala hal. Oleh karena itu, hendaknya partai melepaskan jargon-jargon keislaman yang selalu mereka dengungkan. Sebut saja, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) selalu mengidentitifikasi dirinya sebagai partai dakwah, PPP juga mengidentikkan dirinya sebagai partai umat Islam dan lainnya.

Pada tatanan tertentu, sah-sah saja mereka mengidentintifikasi dirinya sebagai partai umat Islam. Namun alangkah memalukan bila mereka terlibat pada kasus-kasus tercela, sebut saja kasus rasywah impor daging yang melibatkan mantan presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI). Dari kasus ini yang malu bukan hanya para kader PKS, namun juga umat Islam seluruhnya. Karena partai ini selalu memberikan jargon dirinya sebagai partai dakwah atau partai Islam.
   
Oleh karena itu, alangkah lebih indah bila semua partai menjauh dari jargon-jargon agama. Sehingga agama tidak dikomersialisasikan pada kepentingan-kepentingan politik semu. Biarkan agama menjadi sakral tanpa dicemarkan hanya karena ulah satu dua orang dari partai tertentu. Dengan demikian, kesucian agama akan tetap terjaga dimanapun dan kapanpun.

Umat Islam seharusnya cerdas dalam memilih pemimpin. Tidak tertipu dan tergoda dengan jargon-jargon keagamaan. Karena banyak partai hanya menjadikan jargon-jargon keislaman sebagai umpan tarik atau daya beli saja. Sehingga partai Islam tidak menjamin mereka terbebas dari incaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Maka, umat Islam harus berhati-hati untuk memilih pemimpin.

Memilih figur menjadi sebuah alternatif untuk menjaring pemimpin berkarakter. Dari manapun dan partai apapun pengusungnya, selama mengusung pemimpin yang berkredibel, merakyat dan mampu memberikan harapan baru untuk pembangunan, maka seharusnya kita memilihnya.
   
Sebut saja kasus Pilgub DKI Jakarta beberapa waktu lalu, kemenangan yang diraih pasangan Jokowi-Ahok bukan pada ranah pendukung partai saja. Namun, semua orang terlibat hanya untuk memenangkan pasangan ini. Bila kita tanyakan kepada pemilih, mereka bukan suka dengan figur partai pengusung, namun mereka hanya mencintai figur pasangan saja (Jokowi-Ahok).

Ibnu Taimiyah berkata: “Allah SWT akan membantu pemimpin yang adil walaupun dia kafir, namun Allah swt tidak akan membantu pemimpin zalim walaupun dia muslim”. Oleh karena itu, seharusnya umat Islam sudah tidak terlena lagi dengan partai, namun mari lihat lebih jauh figur mana yang mereka usung.

Dengan demikian, mencari pemimpin Islam subtantif jauh lebih penting dibandingkan hanya mencari pemimpin Islam simbolik. Maka, bila Partai Islam bercita-cita memenangkan pemilu di tengah-tengah umat Islam, sudah sepantasnya untuk mencari figur-figur Islam subtantif. Sehingga mampu melayani, berkontribusi dan amanah terhadap jabatan yang diemban -mengamalkan ajaran Islam secara kaffah, tidak hanya sebatas jargon Islam penipu belaka, jika tidak partai Islam tinggal menunggu waktu yang pas untuk tumbang di tengah-tengah umat Islam.



Penulis: Adnan YahyaMahasiswa Fakultas Agama Islam, Jurusan Komunikasi Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

sumber: republika.co.id
 

2 komentar: